The Amulet Samarkand
Penulis: Jonathan Stroud
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Mei, 2007
BLURB
Nathaniel, si penyihir muda,
diam-diam memanggil jin berusia 5.000 tahun bernama Bartimaeus. Tugas untuk
Bartimaeus tidak gampang-ia harus mencuri Amulet Samarkand
yang berkekuatan dahsyat dari Simon Loveleace, master penyihir yang kejam dan
ambisius.
Bartimaeus dan Nathaniel pun
terlibat dalam intrik sihir yang penuh darah, pemberontakan, dan pembunuhan.
REVIEW
Buku ini saya miliki tanpa niat
membacanya. Sekadar mengoleksi, sebenarnya. Don’t
judge the book by it’s cover menjadi motto saya, tapi pas novel ini ada di
tangan, melihat kovernya yang tidak indah-indah amat mengurungkan niat saya
seluruhnya. Maka, novel ini untuk beberapa lama berdiri manis di rak buku,
hingga suatu hari saking bosannya, saya mencomot buku ini.
Nathaniel adalah gadis penyihir
belia. Setidakn
ya,
nama di blurb novel memberikan simpulan yang salah. Nyatanya, Nathaniel
adalalah lelaki penyihir yang egois dan keras kepala. Sosok penyihir yang jauh
dari kata cute dan menggemaskan. Ya,
semisal dibandingkan sama sosok Harry Potter, sih, saya tentu pilih Harry.
Namun, ciri khas Nathaniel ini yang menjadikannya berbeda dari
penyihir-penyihir lain.
Di dalam cerita, disajikan dua POV
yang berbeda. Awalnya, saya agak kebingung, ‘ini kok sudut pandangnya agak
aneh?’ lantas, saya ngeh pada akhirnya. Saya bisa mengikuti plot cerita tanpa
tersendat-sendat lagi.
Memang, apa yang dialami Nath di
usia kanak-kanaknya menyebalkan. Mendapati master-Mr. Underwood- yang cenderung
mengabaikan kemampuannya, belum lagi rasa haus akan ilmu sihir tidak didukung
penuh. Itu belum sebanding dengan perlakuan Mr. Underwood yang seolah
mengucilkan dirinya pada rekan-rekan penyihir. Hingga suatu hari, Nath ‘di-bully’ di depan masternya sendiri oleh
seorang penyihir jahat, Simon Loveleace. Didasari dendam masa lalu, Nath nekat memanggil
salah satu jin, Bartimaeus.
Nath bukanlah bocah penyihir yang
menyenangkan, pun dengan jinnya, Barti. Jin itu sama sekali tidak suka
diperbudak oleh seorang bocah ingusan. Namun, dia terikat dengan mantra Nath.
Nah, bertemunya Nath dan Barti menjadikan petualangan mereka amat seru. Nath
yang hanya suka memerintah, sementara Barti amat suka mengejek. Dibanding Nath,
saya suka dengan si Barti ini. Jin yang konyol dan tidak membosankan seperti
Nath.
Jika di novel-novel sebelumnya, footnote berfungsi menjelaskan sesuatu,
maka di novel ini amat beda. Stroud menyediakan tempat khusus bagi Barti untuk
curhat sesukanya, menjadikan cerita fantasi ini menyenangkan.
Barti diperintahkan mencuri amulet
Samarkand milik Loveleace. Tindakan gila bagi Barti, tapi tidak untuk Nath.
Tujuannya iseng, sebagai wujud balas dendamnya dulu. Namun, apa yang terjadi
setelahnya, mengubah hidup Nath. Orang terdekatnya, Mr. Underwood dan Mrs.
Underwood, terbunuh dengan kejam karena ulahnya.
Nath dan Barti tidak punya pilihan
selain melarikan diri dari kejaran budak-budak Loveleace. Nah, di sini saya
amat menyesal kenapa tidak sedari dulu mencicipi novel ini. Petualangan
akhirnya dimulai bersama Barti. Duh, saya tidak berhenti merasakan tegang
setiap membuka lembarannya.
Hingga akhirnya, Nath tahu, dengan
kekuatan Amulet Samarkand yang dahsyat, Loveleace ternyata berkeinginan
melakukan makar. Mengambil alih kekuasaan Perdana Menteri.
Saya masih ingat sensasi seperti apa
saat membaca Harry Potter. Dan saya kembali merasakan sensasi tersebut saat
membaca novel apik Stroud ini. Puncak dari segala ketegangan saya ketika
Loveleace berhasil memanggil jin yang amat kuat kekuatannya, Ramuthra.
Sayang, saya jauh ketinggalan
membaca novel ini, hingga memburu novel keduanya penuh perjuanangan. Meski di
bab awal terasa membosankan sekaligus membingungkan, finally saya bisa
menghabiskan cerita novel ini dengan memuaskan.